[has] FAMILY become our top PRIORITY

Suatu hari aku bersenggolan dengan seseorang yang tidak kukenal. “maafkan saya,” reaksi spontan keluar dari mulutku. Ia juga berkata “maafkan saya juga“. Kami berlaku sangat sopan satu sama lain. Kami pun berpisah dan mengucapkan salam.

.

Namun cerita jadi lain, begitu sampai di rumah. Pada hari yang sama, saat saya sedang menghubungi salah satu kolega terbaik saya, bahasa yang sangat lembut dan santun begitu fasih saya gunakan. Tak lama berselang, anak lelaki saya mencoba mengajak saya bermain, tepat disaat perbincangan dengan kolega saya masih berlangsung. Dengan nada tinggi dan sambil mencoba menutupi telepon agar tidak terdengar lawan bicara, saya menghardik anak lelaki saya “main di luar, jangan ganggu papa!“. Tampak anak lelaki saya kaget, lalu dengan wajah terkejut dan sedikit merajuk, ia pergi keluar.

.

.

Malam harinya, saat saya tertidur, terdengar suara berbisik “waktumu telah habis nak, malaikat-Ku akan segera menjemputmu, namun sebelumnya Ku izinkan kau melihat lorong waktu, kamu boleh melihat kejadian setelah kematianmu“.

.

.

.

.

.

Saya melihat tubuh saya terbaring kaku di ruang keluarga, hanya beberapa orang sahabat yang datang, selebihnya mendoakan lewat group, sebagian hanya menulis 3 huruf singkat “RIP” dan bahkan ada juga yang tidak berkomentar apapun atas kepergianku. Teman-teman sekantor hampir semua datang, sekilas melihat jenazahku, lalu mereka asik foto-foto dan mengobrol, bahkan ada yang asik membicarakan aibku sambil tersenyum-senyum. Bos yang aku hormati hanya datang sebentar, dalam hitungan menit ia langsung pulang. Dan kolegaku, tidak satupun dari mereka yang aku lihat.

.

.

Lalu kulihat anak-anakku menangis dipangkuan istriku, anakku yang paling kecil berusaha menggapai jenazahku, meminta aku bangun, namun istriku segera memeluknya dan memberi pengertian. Istriku, kulihat dia pingsan berkali-kali, aku tidak pernah melihatnya sekacau itu. Lalu aku teringat betapa sering aku acuhkan panggilannya untuk mengajakku mengobrol, aku selalu sibuk dengan hpku, dengan kolega-kolegaku, dengan teman-teman dunia mayaku. Terbayang juga bayangan-bayangan ketika kuhardik anak-anakku yang begitu ribut meminta ditemani bermain olehku. “Oh Tuhan, maafkan aku

.

.

Beberapa hari setelah aku dimakamkan, teman-teman sudah melupakanku, hingga detik ini tidak kudengar doa dari mereka untukku. Perusahaan telah mengisi posisiku dengan karyawan lain, teman-teman dunia maya seperti biasa, sibuk dengan lelucon-lelucon di group, tidak nampak ada pembahasan tentangku atau bersedih karena ketiadaanku di group mereka.

.

.

.

.

.

Namun,

aku masih melihat istriku pucat dan menangis, air matanya selalu menetes saat anak-anak bertanya dimana papa mereka. Aku melihat dia begitu lunglai dan pucat. “Oh Tuhan, maafkan aku

.

.

sebulan kepergianku,

Teman-teman social mediaku lenyap secara drastis, semua memutuskan pertemanan denganku. Seolah tidak ingin lagi melihat kenanganku semasa hidup. Bosku, teman-teman kantor, kolega, tak satupun mengunjungi makamku atau sekedar mengirimkan doa.

.

.

.

.

.

Lalu kulihat istriku, dia sudah bisa tersenyum, tapi tatapannya kosong, anak-anak masih terus menanyakan kepulanganku, bahkan yang paling kecil masih selalu menungguku di jendela, menantikan aku pulang. “Oh Tuhan, maafkan aku

.

.

.

15 tahun berlalu

.

.

Kulihat istriku menyiapkan makanan untuk anak-anakku. Wajahnya yang cantik mulai dipenuhi guratan tua dan lelah. Suaranya yang indah seolah tak lelah berkumandang untuk mengingatkan anak-anakku untuk taat beribadah. Putriku, dia sudah mulai beranjak dewasa. Ah betapa cantiknya gadis kecilku itu. Kulihat buku hariannya yang terbuka ” seandainya saja papa masih ada disini, pasti tidak akan ada pria yang berani berlaku tidak sopan padaku, tak akan kulihat mama bekerja keras agar kami bisa terus bersekolah, ya Tuhan, kenapa Kau ambil papa dari kami? aku butuh papaku ya Tuhan, kembalikan papa“. Buku harian itu basah, pasti karena air matanya. “Oh Tuhan, maafkan aku

.

.

Sampai bertahun-tahun istri dan anak-anakku masih terus mendoakan kebahagiaanku.

.

.

.

.

.

Seketika aku terbangun,

Aku terjatuh dari tempat tidur dengan air mata diwajahku,

Oh Tuhan, terima kasih” ujarku dalam hati

Ternyata aku cuma bermimpi

.

.

.

Kulihat istri yang begitu kucintai tertidur pulas. Aku lupa kapan terakhir kali kulihat betapa cantiknya wanita yang begitu setia mendampingi hidupku ini. Kucium kening istriku, istri yang sering kali kuabaikan keluhannya, istri yang sering kubiarkan seorang diri mendidik dan membesarkan anak-anak hanya karena kupikir tugasku hanyalah menyiapkan dana yang mereka butuhkan. “Oh istriku, maafkan aku

Aku berjalan ke kamar anak-anak, dan kulihat mereka juga tidur begitu lelap. Kuambil selimut mereka yang terjatuh ke lantai, ku balut tubuh kecil anak-anakku dengan selimut tersebut. Lalu kubelai rambut anak-anakku. Kubisikkan betapa aku mencintai mereka, dan aku menyesal untuk setiap waktu yang kubuang tanpa mereka yang menjadi bintang utamanya. “Oh anak-anakku, maafkan papa

.

.

.

.

Aku tak pernah tahu kapan aku akan kembali kepada penciptaku.

Perusahaan tempatku bekerja akan dengan mudah mecari penggantiku dalam hitungan hari.

Teman-teman akan melupakanku sebagai cerita yang sudah berakhir, seolah aku tak pernah mengisi hari-hari bersama mereka.

.

.

Istriku, anak-anakku, keluargaku, mereka telah, masih, dan akan selalu ada untukku.

.

.

.

.

masihkah istriku, anak-anakku, keluargaku ada dihati dan pikiranku, menjadi prioritas hidupku?” tanyaku dalam diam